Wednesday 18 February 2015

SUKU ADAT AMMATOA KAJANG KAB. BULUKUMBA SULAWESI SELATAN



A.     Sejarah Hadirnya Orang Pertama di Suku Adat Ammatoa
Berdasarkan hasil obeservasi, sejarah hadirnya orang pertama di Suku Adat Ammatoa  adalah hadirnya Ammatoa yang dipercaya oleh masyarakat Kajang sebagai orang pertama yang diturunkan oleh Turiek Akrakna ke dunia dan bertempat pertama kali diturunkan adalah tempat mereka berdiam sekarang dan mereka percaya bahwa orang pertama tersebut diturunkan pertama kali sama seperti dengan nama tempat diturunkannya yaitu Tana Toa ( tanah Tertua). Orang pertama tersebut bukan hanya sebagai orang pertama yang hadir di Suku Adat Ammatoa tetapi dipercaya juga sebagi orang yang hadir pertama kali di dunia. Turiek Akrekna maksudnya adalah yang menciptakan segala sesuatu yang ada di bumi, secara umum kita kenal sebagi Tuhan, Allah SWT dalam islam. Ammatoa inilah yang menyebarkan segala pesan ke masyarakatnya dan hingga hari ini dapat diwariskan walaupun ada sedikit pergeseran.

B.     Makna Filosofis Warna Hitam Bagi Suku adat Ammatoa
Warna hitam bagi Suku Adat Ammatoa adalah sebagai lambang kejujuran dan harus dipatuhi karena merupakan sebuah pesan dari nenek moyangnya atau pesan dari Turiek Akrakna. Bagi suku adat Ammatoa, bukan warna hitam saja yang dijadikan sakral tetapi juga warna putih karena mereka percaya dan menganggap bahwa di dunia ini hanya ada gelap terang yang berarti hitam dan terang yang berarti putih. Warna hitam digunakan juga karena dapat menselaraskan dan barmakna sederhana. Sedangkan putih hanya bisa digunakan oleh masyarakat yang dianggap berilmu tinggi. Namun, tetaplah warna hitam dijadikan sebagai warna sakral karena dapat bermakna persamaan derajat tanpa membeda-bedakan.

C.    Struktur Pemerintahan Suku Adat Ammatoa
Dalam struktur pemerintahan suku adat Ammatoa, pemimpin tertingginya adalah seorang yang disebut Ammatoa dan menjabat sepanjang hidupnya. Dalam tugas-tugasnya, Ammatoa didampingi oleh dua orang disebut Anrongta ri Pangi dan Anrongta ri Bongkina khususnya dalam upacara-upacara adat. Ammatoa tetap berkomunikasi dengan pemerintah setempat seperti kepala dusun, kepala desa, dan camat. Ammatoa juga memiliki seorang seretaris yang dikenal sebagai Galla Puto yang bertugas sebgai penyampai pesan kepada Ammatoa. Ketika Ammatoa tutup usia, maka akan ada penggantian tetapi dilakukan tiga tahun setelah meninggalnya. Syarat-syarat menjadi seorang pemimpin adat adalah tentunya memiliki pengetahuan tentang pesan yang telah diturunkan oleh Turiek Akrakna, berkelakuan baik, dapat dipercaya, dan memiliki ilmu-ilmu tertentu atau kesaktian, serta berpengetahuan tinggi. Menjadi seorang Ammatoa tidaklah diberi gaji tetapi hanya diberi sawah hingga Ammatoa meninggal. Artinya bahwa sawah tersebut diberikan selama menjabat sebagai Ammatoa.

D.    Konsep dan Makna Pasang Rikajang
Pasang Ri Kajang merupakan sebuah pesan  yang diturunkan oleh Turiek Akrakna dan merupakan tuntunan hidup masyarakat Kajang yang harus diwariskan secara turun-temurun dan wajib untuk dipatuhi. Pasang Rikajang merupakan sebuah panduan utnuk menjalankan kehidupan di dunia yang jika tidak dipatuhi atau dilaksanakan maka akan berdampak buruk dalam menjalankan aktivitas atau kehidupan sehari-harinya. Nilai-nilai yang terkandung dalam Pasang Rikajang memberi makna dan keunikan tersendiri bagi penganutnya, hal ini bisa kita lihat dengan kehidupannya yang sangat sederhana dan masih menjunjung nilai-nilai yang telah diwariskan nenek moyangnya. Contoh lain, masyarakat Kajang mampu memberi nilai-nilai positif bagi masyarakat luar karena dapat mempertahankan budayang ditengah-tengah arus moderenisasi dan dapat menyadarkan oarng luar betapa berartinya kehidupan dan menjaga alam sekitar serta nilai-nilai atau makna sebuah kepemimpinan. Apapun yang ada dalam Pasang Rikajang, haruslah dipatuhi dan dijalankan, jika tidak maka mereka dianggap sebagai orang yang bodoh dan sudah bisa dinilai sebagai orang yang tidak pantas menjadi seorang kepala adat Ammatoa.

E.     Makna Kepercayaan Patuntung Bagi Suku Adat Ammatoa
Patuntung bagi masyarakat Kajang adalah suatu sistem kepercayaan dan menganggap sebagi sumber kebenaran. Patuntung berarti sujud, artinya bahwa masyarakat kajang harus patuh terhadap ajaran yang dari Turiek Akrakna melalui Ammatoa yang pertama. Pada dasarnya, dalam menjalankan kehidupan masyarakat Kajang harus membersihkan diri terlebih dahulu yaitu membersihkan hatinya, tappa’ (kepercayaan), dan imannya (kesesuaian dengan apa yang diucapkan dan bagaimana perilaunya). Kepercayaan Patuntung ini juga mengandung makan A-I-U. A berarti Allah, I berarti Iman, dan U berarti Umat. Disinilah kita akan mendapatkan pangngissengan (pengetahuan). Masyarakat Kajang mengaku beragama dan tetap menjalankan puasa pada bulan ramdahn misalnya. Namun belum sepenuhnya ajaran-ajaran islam mereka laksanakan karena mereka tetap berpegang taguh terhadap apa yang telah dibawa oleh Ammatoa pertama. Keprcayaan ini juga sangat melarang keras masuknya modernisasi karena mereka menganggap bahwa tidak menghormati leluhurnya. Intinya, masyarakat kajang mengakui sebagai masyarakat yang menganut agama islam tetapi mereka juga masih tetap mewariska budaya leluhurnya dengan tetap menjalankan aturan-aturan adat atau pesan yang telah disampaikan oleh Turiek akrakna melalui Ammatoa pertama.

F.     Hutan sebagai Tana Toa
Dalam konsep dan makna Tana Toa bagi masyarakat Kajang, mereka mempercayai bahwa lokasi orang pertama hadir di Tana Toa adalah hutan sehingga mereka mempercayai bahwa hutan itu merupakan sumber kehidupan yang dapat dianggap sebagai sesuatu yang dihormati dan dilindungi. Masyarakat Kajang memegang prinsip Tallasa’ Kamase-mase (hidup sederhana) hal ini bisa dilihat dari kehidupannya sehari-hari. Mereka mengolah hutan dengan sangat hati-hati dan digunakan seperlunya agar tidak terjadi kerusakan hutan. Misalnya, keseragaman rumah yang ada di Kajang. Alasannya bukan saja sebagai kesedrehanaan tetapi juga keseragaman agar tidak ada iri hati dan tidak memberi dampak kerusakan hutan. Hutan juga dianggap tempat tinggal para leluhurnya sehingga untuk menghormati leluhurnya maka mereka harus menjaga dan melindungi hutan. Sebagai tanah tertua, masyarakat Kajang wajib menjaganya sesuai apa yang diwariskan nenek moyangnya dan menjaga skralitas hutan di Kajang.